Wednesday, March 6, 2013

Iman Karena Percaya Bukan Melihat


Para penumpang di bis itu memandang dengan penuh simpati ketika seorang wanita muda yang cantik dengan tongkat putih itu menaiki tangga bis dengan  hati-hati. Ia membayar tiket kepada pengemudi itu dan, dengan menggunakantangannya ia meraba kursi di bis itu, berjalan sepanjang lorong bis untukmenemukan kursi kosong yang dikatakan pengemudi itu. Lantas ia duduk, menaruh tasnya di pangkuan dan meletakkan tongkat di dekat kakinya. Sudahsetahun ini Susan, tiga puluh empat tahun, menjadi buta. Karena kesalahan diagnosa medis, iapun kehilangan penglihatannya, dan tiba-tiba ia  terlempar ke dunia yang penuh kegelapan, disertai amarah, frustrasi dan mengasihani diri sendiri.

Yang semula menjadi wanita mandiri, Susan kini merasa tersiksa dengan perubahan nasib yang mengerikan ini sehingga ia menjadi tak berdaya, menjadi beban bagi setiap orang di sekelilingnya. ”Bagaimana hal inibisa terjadi pada diriku?” tanyanya dengan penuh kegeraman. Namun tak peduli betapa banyak ia menangis atau berdoa, ia tahu suatu kebenaran yang menyakitkan: penglihatannya tidak akan kembali lagi. Segumpal awan  depresi  menggayuti dirinya, yang semula dipenuhi semangat yang optimistis.  Melewati hari-harinya adalah menjalani kehidupan yang bikin frustrasi dan lelah. Dan ia harus bergantung sepenuhnya kepada Mark, suaminya.

Mark adalah seorang perwira Angkatan Udara Amerika Serikat, dan ia sangat mengasihi Susan dengan segenap hatinya. Ketika Susan pertama kali   kehilangan penglihatannya, ia melihat betapa isterinya tenggelam ke dalam  keputus-asaan dan kemudian Mark memutuskan untuk membantu isterinya  mendapatkan kekuatan dan keyakinan kembali sehingga ia dapat menjadi  mandiri lagi. Latar belakang militer Mark telah melatih dirinya dengan  baik untuk mengatasi situasi-situasi yang sensitif, dan meskipun demikian  ia tahu bahwa inilah pertempuran paling sulit yang ia akan harus hadapi. 

Akhirnya, Susan merasa siap untuk kembali bekerja, namun bagaimana ia   sampai ke kantornya? Ia biasanya naik bis, namun kini ia terlalu takut   untuk pergi ke kota sendirian dalam keadaan buta. Mark menyediakan  dirinya  untuk mengantar dengan mobil ke kantor Susan, meskipun arah kantor isterinya berlawanan arah dengan kantornya. Untuk pertama kali, hal ini  membuat Susan nyaman dan memenuhi kebutuhan Mark untuk melindungi   isterinya yang tunanetra yang masih belum merasa aman untuk mengerjakan  sesuatu yang paling mudahpun. Namun, dengan segera Mark menyadari bahwa   pengaturan seperti ini tidaklah efisien, karena jalanan macet dan berat di  ongkos. Susan harus mencoba naik bis lagi, demikian menurut pertimbangan Mark. Namun hanya baru memikirkannya saja untuk mengutarakan hal itu  kepada Susan membuat dirinya merinding. Susan masih terlalu sensitif dan  mudah tersinggung. Bagaimana nanti reaksi isterinya?

Tepat seperti yang diduga Mark, Susan sangat ketakutan mendengar gagasan  suaminya untuk naik bis ke kantor lagi. ”Aku ini buta!” katanya dengan  getir. ”Bagaimana aku tahu akan ke arah mana? Aku merasa engkau sudah  meninggalkanku.” Hati Mark hancur mendengar perkataan itu, tetapi ia tahu  apa yang harus dilakukannya. Ia berjanji kepada Susan bahwa ia akan naik  bis setiap pagi dan sore bersamanya, selama diperlukan, sampai ia merasa  yakin dan nyaman. Dan itulah yang persis terjadi.  Selama dua minggu berturut-turut, Mark, dengan seragam militer menemani  Susan pergi dan pulang kerja setiap hari. Ia mengajarkan isterinya  bagaimana mengandalkan indera yang lain, khususnya pendengaran, untuk  mengenali dimana dia berada dan bagaimana beradaptasi dengan lingkungan  baru. Ia menolongnya untuk bersahabat dengan para sopir bis yang dapat  ikut menjaganya dan menyediakan tempat duduk kosong baginya. Ia dapat  membuat Susan tertawa, meskipun pada hari-hari yang tidak begitu baik  ketika ia hampir terjatuh menuruni tangga bis atau menjatuhkan tasnya.  Setiap pagi mereka bepergian dengan bis bersama, dan Mark akan naik taksi kembali ke kantornya setelah mengantar isterinya.

Meskipun kegiatan rutin ini cukup memakan biaya dan melelahkan,  dibandingkan dengan sebelumnya, namun Mark tahu bahwa hanya soal waktu  sebelum Susan akan mampu bepergian dengan bis sendirian. Ia percaya  isterinya pasti bisa, karena ia tahu Susan tidak pernah takut menghadapi  tantangan apapun atau menyerah pada apapun sebelum ia buta. Akhirnya,  Susan memutuskan bahwa ia telah siap mencoba naik bis sendirian. Senin  pagi datanglah, dan sebelum ia pergi, Susan melingkarkan lengannya di  pundak Mark, teman naik bis, suami dan sahabat terbaiknya. Matanya  dipenuhi airmata ucapan syukur atas kesetiaannya, kesabarannya, dan  kasihnya. Ia berpamitan, dan untuk pertama kalinya, ia pergi dengan arah  berlawanan. Senin, Selasa, Rabu, Kamis…. Setiap hari ia pergi naik bis  sendirian dengan sempurna, dan Susan tidak pernah merasa sebaik ini. Ia  telah berhasil melakukannya! Ia dapat pergi bekerja sendirian, tanpa  bantuan orang lain!
Pada suatu Jumat pagi, Susan naik bis untuk bekerja sebagaimana biasanya. Ketika ia membayar tiket sebelum turun dari bis, sopirnya berkata, ”Wah,  aku iri padamu lho!” Susan tidak yakin apakah sopir ini sedang berbicara  kepadanya atau bukan. Memangnya kenapa ada orang yang iri kepada wanita  buta seperti dirinya yang harus berjuang mendapatkan keberanian untuk  menghadapi kehidupan ini. Karena ingin tahu, ia bertanya kepada pengemudi bis itu, “Kenapa anda berkata bahwa anda iri kepadaku?” Pengemudi itu hanya berkata, “Kayaknya enak diperhatikan dan dilindungi seperti kamu!”  Susan tidak mengerti apa yang dikatakan pengemudi bis ini, sehingga ia  bertanya lagi, ”Maksud anda?” Pengemudi itu menjawab, ”Tahu tidak, setiap  pagi selama minggu lalu, seorang pemuda gagah dengan seragam militer  berdiri di seberang sana memandangi anda turun dari bis. Ia memastikan  apakah anda dapat menyeberang dengan aman, dan ia mengawasi anda sampai  anda masuk ke gedung kantor anda. Kemudian ia akan memberikan tanda ciuman  dan tanda hormat kepada anda dan pergi. Anda adalah seorang wanita yang  beruntung!”

Airmata kebahagiaan mengalir dari pipi Susan. Meskipun ia tidak dapat  melihat suaminya secara fisik, ia selalu dapat merasakan kehadirannya. Ia merasa diberkati, begitu diberkati, karena ia telah memberikan kepadanya  suatu hadiah yang lebih dahsyat dibandingkan dengan penglihatan, suatu hadiah dimana ia tidak perlu melihat untuk percaya, suatu hadiah kasih  yang dapat memberikan terang dimana di sana hanya ada kegelapan. Tuhan menyatakan bahwa Ia memperhatikan kita dengan cara seperti itu. Kita mungkin tidak tahu kalau Ia hadir. Kita  mungkin tidak mampu melihat wajah-Nya, namun Ia ada di sana tanpa  disangsikan lagi. Harapan saya bagi kita adalah biarlah kita diberkati  dengan pikiran ini: ”Allah mengasihi anda – meskipun anda tidak  melihatnya.”

1 komentar:

Febriyanti Sitanggang said...

:') terharu.

Post a Comment

 
Design by Frits Hendrico Tarihoran | Bloggerized by fritshendrico - Premium Blogger Themes | Revivalist, History Maker